Selasa, 05 Juli 2011

Menemukan Senja Yang Hilang di Umbul Sidomukti


Terletak di lereng Gunung Ungaran, tempat ini menawarkan pemandangan dengan horison yang luas. Jika ingin menyepi, datanglah dan menginaplah di Pondok Wisata yang masuk dalam kawasan objek wisata Umbul Sidomukti.
Memandang alam di kala senja selalu menimbulkan sensasi yang susah dijelaskan dengan seribuan kata. Bagi saya, hanya ada satu kata: anugerah. Yah, sebuah anugerah jika kita bisa melewatkan sore di
sebuah alam terbuka dengan cakrawala lembayung memburat di kejauhan. Saya jadi teringat dengan masa kecil di sebuah kampung yang berbukit. Sering saya melewatkan senja dengan duduk-duduk di sebuah bukit bersama teman-teman setelah seharian puas bermain. Hidup di Jakarta teramat sulit mendapatkan waktu seperti itu. Tak jarang saya melewatkan senja di sebuah warung tegal hanya dengan minum the dan cemilan ala kadarnya untuk mengenang senja masa kecil. Tapi jangan membayangkan suasana sekitar. Sebuah warung tak bisa menggantikan alam terbuka.

Nah, di Umbul Sidomukti ini saya seperti jeda dari senja-senja yang menjemukan. Cahaya nila menyeruak di awan yang mulai menggelap. Umbul Sidomukti sesungguhnya menjual wisata adrenalin. Ada flying fox sepanjang sekitar 100 m yang melewati sebuah lembah berketinggian sekitar 70 m, marine bridge yang melintas di atas lembah sedalam sekitar 50 m, atau memacu ATV di lintasan berundak. Ada lagi kolam renang alami yang airnya berasal dari sebuah mata air. Objek wisata milik Siswono Yudohusodo ini terletak di Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan, Kab. Semarang. Lokasinya memang relatif sulit dicapai. Menggunakan roda empat melewati jalan menanjak, beberapa hanya cukup untuk satu mobil. Jika pertama kali ke sini banyak yang mengeluh: kapan sampainya ya? Papan petunjuk memang tersebar di sepanjang jalan yang membuat kita tak akan tersasar. Namun kondisi jalan yang masih alami, jalan aspal berlubang, jalan tanah berkubang, jalan beton bergelombang, menjadikan perjalanan begitu lama. Sama seperti kehidupan yang penuh dengan perjuangan membuat waktu begitu lambat berputar.

Umbul atau tuk alias mata air menjadi berkah di tempat ini. Dari umbul inilah airnya dialirkan menuju ke tiga kolam renang yang dinding dan alasnya dibuat dari batu-batu kali. Kolam renang berbentuk elips tak beraturan itu terletak pada  tanah kontur yang dibikin berundak, dengan hamparan pemandangan kota Ambarawa ada di bawah sana. Kolam pertama yang berada di bagian atas  memiliki bentuk lebih besar dan ada air mancurnya. Ketinggiannya bervariasi antara 1,3 m dan 1,6 m. Air mancur itulah yang berasal dari umbul. Dua kolam yang menyatu ada di undakan lebih bawah dan diperuntukkan untuk anak-anak karena dalamnya tak lebih dari satu meter.

Nah, di atas tiga kolam tadi, ada tangga berundak yang bisa dijadikan tempat duduk. Di situlah, saya menemukan senja yang syahdu. Di tengah keheningan tempat yang sudah mulai ditinggalkan pengunjungnya, aku merasa kecil di hadapan alam. Selarik candik ayu terpantul di permukaan kolam yang bening dan hening. Candik ayu. Ya, aku benar-benar terlempar ke masa kecil. Aku lebih suka dengan candik ayu yang riang, meski senja juga menghadirkan candik ala yang muram dan seolah
mau menyedot hati kita.

Temaram yang membekap senja mulai menghadirkan bulan menjelang purnama di permukaan kolam. Aku semakin enggan beranjak. Angin semilir lereng G. Ungaran meningkahi suasana. Aku mencoba memejamkan mata. Membiarkan pikiran mengembara. Memutar ulang kehidupan masa lalu. Damai. Tentram.

Kegelapan menyudahi semua itu. Sama seperti kehidupan yang harus berakhir dengan kematian. Senja mati berganti malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar